Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur)  atau VOC yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 adalah perusahaan  Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia.  Disebut Hindia Timur karena ada pula VWC yang merupakan perserikatan  dagang Hindia Barat. Perusahaan ini dianggap sebagai perusahaan pertama  yang mengeluarkan pembagian saham.
Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi badan  dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi  fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Misalkan VOC boleh memiliki  tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa dikatakan  VOC adalah negara dalam negara.
VOC terdiri 6 Bagian (Kamers) di Amsterdam, Middelburg (untuk Zeeland),  Enkhuizen, Delft, Hoorn dan Rotterdam. Delegasi dari ruang ini berkumpul  sebagai Heeren XVII (XVII Tuan-Tuan). Kamers menyumbangkan delegasi ke  dalam tujuh belas sesuai dengan proporsi modal yang mereka bayarkan;  delegasi Amsterdam berjumlah delapan.
Di Indonesia VOC memiliki sebutan populer Kompeni atau Kumpeni. Istilah  ini diambil dari kata compagnie dalam nama lengkap perusahaan tersebut  dalam bahasa Belanda.
![]() 
![]() 
![]() 
VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie)
Datangnya orang Eropa melalui jalur laut diawali oleh Vasco da Gama,  yang pada tahun 1497-1498 berhasil berlayar dari Eropa ke India melalui  Semenanjung Harapan (Cape of Good Hope) di ujung selatan Afrika,  sehingga mereka tidak perlu lagi bersaing dengan pedagang-pedagang Timur  Tengah untuk memperoleh akses ke Asia Timur, yang selama ini ditempuh  melalui jalur darat yang sangat berbahaya.
Pada awalnya, tujuan utama bangsa-bangsa Eropa ke Asia Timur dan  Tenggara termasuk ke Nusantara adalah untuk perdagangan, demikian juga  dengan bangsa Belanda. Misi dagang yang kemudian dilanjutkan dengan  politik pemukiman –kolonisasi- dilakukan oleh Belanda dengan  kerajaan-kerajaan di Jawa, Sumatera dan Maluku, sedangkan di Suriname  dan CuraƧao, tujuan Belanda sejak awal adalah murni kolonisasi  (pemukiman).
Bangsa Portugis, yang terlebih dahulu datang ke Indonesia sebelum  Belanda, selain di Malakka, memusatkan perhatian mereka di kepulauan  Maluku, yang kaya akan rempah-rempah –komoditi langka dan sangat mahal  di Eropa. Setelah dapat mematahkan perlawanan rakyat Maluku tahun 1511,  Portugis menguasai perdagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku selama  sekitar 100 tahun.
Potret de HoutmanPada akhir abad 16, Inggris dan Belanda mulai  menunjukkan minatnya di wilayah Asia Tenggara dan melakukan beberapa  pelayaran ke wilayah ini, antara lain dilakukan oleh James Lancaster  tahun 1591, dua bersaudara Frederik dan adiknya, Cornelis de Houtman  tahun 1595 dan kemudian tahun 1599, Jacob van Neck tahun 1598.
Lancaster datang lagi tahun 1601. Ketika de Houtman bersaudara tahun  1596 pertama kali tiba di Banten, mereka disambut dengan sangat ramah,  demikian juga dengan para pedagang lain, yang setelah itu makin banyak  datang ke Jawa, Sumatera dan Maluku.
Op de rede van Banten
bantamhoutman
bantam1596
Cornelis Houtman 15 Juni 1596 (Bantam/Banten)
Sebelum Belanda membuat Jayakarta/Sunda Kalapa (setelah menduduki  Jayakarta, Belanda kemudian menamakannya Batavia) menjadi pelabuhan yang  merupakan basis perdagangan dan kubu militernya, pelabuhan Banten  adalah pelabuhan internasional yang terbesar di Asia Tenggara dan  menjadi pusat perdagangan antar benua.
Ketika kembali ke Asia Tenggara tahun 1599, Houtman bersaudara terlibat  pertempuran melawan kerajaan Aceh, di mana Cornelis tewas dan Frederik  ditawan, dan setelah dibebaskan tahun 1602, ia kembali ke Amsterdam.  Selama di penjara, ia sempat belajar bahasa Melayu dan menerbitkan kamus  Melayu pertama pada tahun 1603.
Adalah para pedagang Inggris yang memulai mendirikan perusahaan dagang  di Asia pada 31 Desember 1600 yang dinamakan The Britisch East India  Company dan berpusat di Calcutta. Kemudian Belanda menyusul tahun 1602  dan Prancis pun tak mau ketinggalan dan mendirikan French East India  Company tahun 1604.
Logo Kamar Dagang VOC di AmsterdamPada 20 Maret 1602, para pedagang  Belanda mendirikan Verenigde Oost-Indische Compagnie - VOC (Perkumpulan  Dagang India Timur). Di masa itu, terjadi persaingan sengit di antara  negara-negara Eropa, yaitu Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris,  Perancis dan Belanda, untuk memperebutkan hegemoni perdagangan di Asia  Timur. Untuk menghadapai masalah ini, oleh Staaten Generaal di Belanda  VOC diberi wewenang memiliki tentara yang harus mereka biayai sendiri.  Selain itu, VOC juga mempunyai hak, atas nama Pemerintah Belanda –yang  waktu itu masih berbentuk Republik- untuk membuat perjanjian kenegaraan  dan menyatakan perang terhadap suatu negara.
Wewenang ini yang mengakibatkan, bahwa suatu perkumpulan dagang seperti VOC, dapat bertindak seperti layaknya satu negara.
Hak-hak istimewa yang tercantum dalam Oktrooi (Piagam/Charta) tanggal 20 Maret 1602 meliputi:
1. Hak monopoli untuk berdagang dan berlayar di wilayah sebelah timur  Tanjung Harapan dan sebelah barat Selat Magelhaens serta menguasai  perdagangan untuk kepentingan sendiri;
2. Hak kedaulatan (soevereiniteit) sehingga dapat bertindak layaknya suatu negara untuk:
1. memelihara angkatan perang,
2. memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian,
3. merebut dan menduduki daerah-daerah asing di luar Belanda,
4. memerintah daerah-daerah tersebut,
5. menetapkan/mengeluarkan mata-uang sendiri, dan
6. memungut pajak.
![]() 
         
          
      Tahun 1603 VOC memperoleh izin di Banten untuk mendirikan kantor  perwakilan, dan pada 1610  Pieter Both diangkat menjadi Gubernur  Jenderal VOC pertama (1610-1614). Sementara itu,  Frederik de Houtman  menjadi Gubernur VOC di Ambon (1605 – 1611) dan setelah itu menjadi  Gubernur untuk Maluku (1621 – 1623).
Belanda konsisten menggunakan kekuatan bersenjata untuk memuluskan  perdagangannya dan menjalankan taktik divide et impera (memecah-belah  dan kemudian menguasai). Apabila ada konflik internal di satu kerajaan,  atau ada pertikaian antara satu kerajaan dengan kerajaan tetangganya,  Belanda membantu salah satu pihak untuk mengalahkan lawannya, dengan  imbalan yang sangat menguntungkan bagi Belanda, termasuk antara lain  memperoleh sebagian wilayah yang bersama-sama dikalahkan. Dengan tipu  muslihat dan bantuan penguasa setempat, Belanda berhasil mengusir  Portugis dari wilayah yang mereka kuasai di Maluku, yang sangat kaya  akan rempah-rempah, yang mahal harganya di Eropa.
The Dutch and English enclaves at Amboyna (top) and Banda (bottom). 1655 engraving.
Dutch Batavia in the 17th Century, built in what is now North Jakarta
Jayakarta, Jajahan VOC Pertama
Prasasti Tugu di Museum NasionalBukti tertua mengenai eksistensi  pemukiman penduduk yang sekarang bernama Jakarta adalah Prasasti Tugu  yang tertanam di desa Batu Tumbuh, Jakarta Utara. Prasasti terebut  berkaitan dengan 4 prasasti lain yang berasal dari zaman kerajaan Hindu,  Tarumanegara ketika diperintah oleh Raja Purnawarman. Berdasarkan  Prasasti Kebon Kopi, nama Sunda Kalapa (Sunda Kelapa) sendiri  diperkirakan baru muncul abad sepuluh.
Afonso de AlbuquerquePemukiman tersebut berkembang menjadi pelabuhan,  yang kemudian juga dikunjungi oleh kapal-kapal dari mancanegara. Hingga  kedatangan orang Portugis, Sunda Kalapa masih di bawah kekuasaan  kerajaan Hindu lain, Pakuan Pajajaran. Sementara itu, Portugis telah  berhasil menguasai Malakka, dan tahun 1522 Gubernur Portugis  d’Albuquerque mengirim utusannya, Enrique Leme yang didampingi oleh Tome  Pires untuk menemui Raja Sangiang Surawisesa. Pada 21 Agustus 1522  ditandatangani perjanjian persahabatan antara Pajajaran dan Portugis.
Diperkirakan, langkah ini diambil oleh Raja Pakuan Pajajaran guna  memperoleh bantuan dari Portugis dalam menghadapi ancaman kerajaan Islam  Demak, yang telah menghancurkan beberapa kerajaan Hindu, termasuk  Majapahit. Namun ternyata perjanjian ini sia-sia saja, karena ketika  diserang oleh Kerajaan Islam Demak, Portugis tidak membantu  mempertahankan Sunda Kalapa.
![]() 
![]() 
![]() 
             
      reservedSebagaimana telah dikemukakan di atas, pelabuhan Sunda Kalapa  diserang oleh tentara Demak yang dipimpin oleh Fatahillah, Panglima  Perang asal Gujarat, India, dan jatuh pada 22 Juni 1527, dan setelah  berhasil direbut, namanyapun diganti menjadi Jayakarta. Setelah  Fatahillah berhasil mengalahkan dan mengislamkan Banten, Jayakarta  berada di bawah kekuasaan Banten, yang kini menjadi kesultanan.
Ironisnya, kini tanggal 22 Juni ditetapkan sebagai hari “kelahiran”  Jakarta. Jelas tanggal ini tidak mencerminkan berdirinya kota Jakarta,  karena dari berbagai prasasti, telah terbukti bahwa Sunda Kalapa telah  ada sejak abad 10. Ironis, karena hari penaklukkan Jakarta yang dipimpin  oleh seorang asing, ditetapkan sebagai hari “kelahiran” Jakarta.
Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, lebih memilih  Jayakarta sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC daripada  pelabuhan Banten, karena pada waktu itu di Banten telah banyak kantor  pusat perdagangan orang-orang Eropa lain seperti Portugis, Spanyol  kemudian juga Inggris, sedangkan Jayakarta/Sunda Kalapa masih merupakan  pelabuhan kecil.
Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan  fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka  menyewa lahan sekitar 1,5 hektar di dekat muara di tepi bagian timur  Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat  tinggal orang Belanda, dan bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.
Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618 – 1623), ia  mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius  Huis, dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan  beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi 7  meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini  benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh, dan mulai mempersiapkan  untuk menguasai Jayakarta. Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619  Belanda menyerang tuan rumah, yang memberi mereka izin untuk berdagang,  dan membumihanguskan keraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk.  Berawal hanya dari bangunan separuh kayu, akhirnya Belanda menguasai  seluruh kota, dan kemudian seluruh Nusantara. Semula Coen ingin  menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, namun de Heeren Seventien  di Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk  mengenang bangsa Batavir, yaitu bangsa Germania yang bermukim di tepi  Sungai Rhein yang kini dihuni oleh orang Belanda. Dan nama Batavia ini  digunakan oleh Belanda selama lebih dari 300 tahun.
Dengan demikian, Batavia (Sunda Kalapa, Jayakarta, Jakarta) adalah  jajahan Belanda pertama di Nusantara. Entah sejak kapan, penduduk di  kota Batavia dinamakan –atau menamakan diri- orang Betawi, yang  mengambil nama dari Batavia tersebut. Dilihat dari sejarah dan  asal-usulnya, jelas penamaan ini keliru.
Tanggal 30 Mei 1619 dapat ditetapkan sebagai awal penjajahan Belanda di  bumi Nusantara, yang berakhir tanggal 9 Maret 1942, yaitu dengan resmi  menyerahnya Pemerintah India Belanda kepada Jepang di Kalijati, Subang,  Jawa Barat. 
Legalisasi Perbudakan dimulai oleh VOC
Perbudakan memang telah ada sebelum orang-orang Eropa datang ke Asia  Tenggara, namun di masa VOC, berdasarkan Bataviase Statuten  (Undang-Undang Batavia) tahun 1642, perbudak diresmikan dengan adanya  Undang-Undang Perbudakan.
![]() 
![]() 
Sebagian besar perbudakan terjadi di Jawa, namun budak-budak tersebut  berasal dari luar Jawa, yaitu para tawanan dari daerah-daerah yang  ditaklukkan Belanda, seperti dari pulau Banda tahun 1621, di mana 883  orang (176 orang mati dalam perjalanan) dibawa ke pulau Jawa dan dijual  sebagai budak.
Perdagangan budak di seluruh dunia memang telah terjadi sejak ribuan  tahun lalu, terutama di zaman Romawi. Yang diperdagangkan di pasar budak  adalah rakyat, serdadu, perwira dan bahkan bangsawan dari negara-negara  yang kalah perang dan kemudian dijual sebagai budak. Selama Perang  Salib/Sabil yang berlangsung sekitar 200 tahun, ratusan ribu orang dari  berbagai etnis yang ditawan, dijual sebagai budak sehingga membanjiri  pasar budak, dan mengakibatkan anjloknya harga budak waktu itu.
Dari abad 15 sampai akhir abad 19, seiring dengan kolonialisme  negara-negara Eropa terhadap negara-negara atau wilayah yang mereka  duduki di Asia, Afrika dan Amerika, perdagangan budak menjadi sangat  marak, juga terutama untuk benua Amerika, di mana para penjajah  memerlukan tenaga kerja untuk menggarap lahan pertanian dan perkebunan.  Di Amerika Serikat –negara yang mengklaim sebagai sokoguru demokrasi-  perbudakan secara resmi baru dihapus tahun 1865, namun warga kulit hitam  masih harus menunggu seratus tahun lagi, sampai mereka memperoleh hak  memilih dan dipilih.
Di Afrika, Belanda memiliki 2 portal perdagangan budak. Satu di St.  George d’Elmina, Gold Coast (sekarang Ghana) dan satu lagi di Pulau  Goree, Senegal. Melalui kedua portal tersebut Belanda membawa  budak-budak yang mereka beli dari orang-orang Arab pedagang budak.  Pedagang-pedagang budak orang Arab bekerjasama dengan orang-orang Afrika  menculik warga Afrika dari desa-desa di pedalaman Afrika -tak pandang  bulu, laki-laki, perempuan dan anak-anak- dan kemudian menjual mereka  sebagai budak.
Selama kurun waktu lebih dari 300 tahun, berjuta-juta orang Afrika  diculik dan kemudian dijual sebagai budak. Sebelum dibawa dengan kapal  ke negara-negara tujuan pembeli, mereka disekap secara tidak manusiawi  dan berjejal-jejal –termasuk anak-anak dan perempuan- di  penjara-penjara, tanpa adanya sinar matahari, udara dan air bersih.  Biasanya sekitar 20% dari budak-budak tersebut mati di tengah jalan,  karena penyakit, mogok makan, siksaan atau bunuh diri, namun yang dibawa  ke benua Amerika, jumlah yang mati dalam perjalanan mencapai 40-50%.
Selain mengontrak orang-orang Eropa dan pribumi untuk menjadi serdadu di  dinas ketentaraan India-Belanda, juga terdapat pasukan yang terdiri  dari yang dinamakan Belanda Hitam (zwarte Nederlander), yaitu mantan  budak yang dibeli dari Afrika.
The First Slave Auction in New Amsterdam (NYC)
Mulai tahun 1830, di Gold Coast (Ghana) Afrika Barat, Belanda membeli  budak-budak, dan melalui St George d’Elmina dibawa ke India Belanda  untuk dijadikan serdadu. Untuk setiap kepala, Belanda membayar f 100,-  kepada Raja Ashanti. Sampai tahun 1872, jumlah mereka mencapai 3.000  orang dan dikontrak untuk 12 tahun atau lebih. Berdasarkan  Nationaliteitsregelingen (Peraturan Kewarganegaraan), mereka masuk  kategori berkebangsaan Belanda, sehingga mereka dinamakan Belanda Hitam  (zwarte Nederlander). Karena mereka tidak mendapat kesulitan dengan  iklim di Indonesia, mereka menjadi tentara yang tangguh dan berharga  bagi Belanda, dan mereka menerima bayaran sama dengan tentara Belanda.  Namun dari gaji yang diterima, mereka harus mencicil uang tebusan  sebesar f 100,-. Memang orang Belanda tidak mau rugi, walaupun  orang-orang ini telah berjasa bagi Belanda dalam mempertahankan  kekuasaan mereka di India Belanda.
Sebagian besar dari mereka ditempatkan di Purworejo. Tahun 1950, tersisa  sekitar 60 keluarga Indo-Afrika yang dibawa ke Belanda dalam rangka  “repatriasi.”
Walaupun kekuasaan dari VOC berpindah kepada Pemerintah India-Belanda,  perdagangan budak berlangsung terus, dan hanya terhenti selama beberapa  tahun ketika Inggris berkuasa di India-Belanda (The British  inter-regnum). Perang koalisi di Eropa juga berpengaruh terhadap masalah  perbudakan di India-Belanda. Ketika Inggris menaklukkan Belanda dan  mengambil alih kekuasaan di India Belanda tahun 1811, pada tahun 1813  Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles melarang perdagangan  budak. Namun dengan adanya perjanjian perdamaian di Eropa, kembali  membawa perubahan di India Belanda di mana Belanda “menerima kembali”  India-Belanda dari tangan Inggris pada tahun 1816. Pada tahun itu juga  Pemerintah India Belanda memberlakukan kembali perdagangan budak.
Quote:
Tahun 1789 tercatat 36.942 budak di Batavia dan sekitarnya.
Tahun 1815 tercatat 23.239 budak, ketika di bawah kekuasaan Inggris.
Tahun 1828 tercatat 6.170 budak.
Tahun 1844 masih terdapat 1.365 budak di Batavia.
Dari data/tabel di bawah ini terlihat, bahwa antara tahun 1679 – 1699, lebih dari 50% penduduk Batavia adalah budak (!).
Tabel 1. Jumlah penduduk dan jumlah budak di berbagai pemukiman Belanda di Samudra India akhir abad 17.
(Tabel 1 & 2, lihat: 
http://www.historycoop.org/journals/jwh/14.2/vink.html )
Tabel 2. Jumlah budak VOC dan jumlah seluruh budak Belanda dengan  rata-rata jumlah perdagangan budak per tahun oleh Belanda, sekitar tahun  1688.
Barulah pada 7 Mei 1859 dibuat Undang-Undang untuk menghapus perbudakan,  yang mulai berlaku pada 1 Januari 1860. Namun ini tidak segera  diberlakukan di seluruh wilayah India-Belanda. Di Bali pembebasan budak  baru berlangsung tahun 1877, dan di beberapa daerah lain masih lebih  belakang dari ini.
Di Belanda sendiri, perbudakan baru secara resmi dihapus pada 1 Juli  1863. Pada bulan Agustus 2001, dalam Konferensi internasional di Durban,  Afrika Selatan, baru beberapa negara Eropa secara resmi menyampaikan  permintaan maaf atas perbudakan tersebut, namun belum ada satupun negara  bekas penjajah yang memberi kompensasi.  
Pembantaian oleh Belanda di Pulau Banda. Hongi Tochten
![]() 
J.P. CoenTidak lama setelah kedatangan mereka di Maluku, para pedagang  Belanda melakukan cara-cara yang kejam untuk menguasai wilayah yang  sangat banyak memberi kenuntungan bagi mereka, seperti yang dilakukan  oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen terhadap pulau Banda pada  tahun 1621 (lihat: Willard A. Hanna, “Indonesian Banda”, Colonialism and  its Altermath in the Nutmeg Islands, Yayasan Warisan dan Budaya Banda  Neira, Maluku, 1991, Reprint),
Dari Batavia, dia membawa armada yang terdiri dari 13 kapal besar, tiga  kapal pengangkut perlengkapan serta 36 kapal kecil. Pasukannya terdiri  dari 1.655 orang Eropa (150 meninggal dalam perjalanan) dan diperkuat  dengan 250 orang dari garnisun di Banda. Ini adalah kekuatan terbesar  yang dikerahkan Belanda pada waktu itu ke wilayah Maluku, sehingga tidak  diragukan lagi keberhasilannya. 286 orang Jawa dijadikan pengayuh  kapal. Selain itu terdapat 80 – 100 pedagang Jepang; beberapa  diantaranya adalah pendekar Samurai yang kemudian berfungsi sebagai  algojo pemenggal kepala. Ini merupakan kerjasama pertama antara Belanda  dan Jepang dalam penjajahan di Indonesia.
Dalam waktu singkat, perlawanan rakyat Banda dapat dipatahkan oleh  tentara Belanda. Penduduk kepulauan Banda yang tidak tewas, ditangkap  dan mereka yang tidak mau menyerah kepada Belanda, melompat dari tebing  yang curam di pantai sehingga tewas.
Semua pimpinan rakyat Banda yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda  dijatuhi hukuman mati yang segera dilaksanakan. Mengenai pelaksanaan  eksekusi terhadap pimpinan rakyat Banda pada 8 Mei 1621, Letnan (Laut)  Nicholas van Waert menulis antara lain:
Quote:
“…  Keempat puluh empat tawanan dibawa ke Benteng Nassau, delapan Orang  Kaya (pemuka adat di Banda) dipisahkan dari lainnya, yang dikumpulkan  seperti domba. Dengan tangan terikat, mereka dimasukkan ke dalam  kerangkeng dari bambu dan dijaga ketat. Mereka dituduh telah  berkonspirasi melawan Tuan Jenderal dan telah melanggar perjanjian  perdamaian.
Enam serdadu Jepang melaksanakan eksekusi dengan samurai mereka yang  tajam. Para pemimpin Banda dipenggal kepalanya kemudian tubuh mereka  dibelah empat. Setelah itu menyusul 36 orang lainnya, yang juga  dipenggal kepalanya dan tubuhnya dibelah empat. Eksekusi ini sangat  mengerikan untuk dilihat.
Semua tewas tanpa mengeluarkan suara apa pun, kecuali satu orang yang  berkata dalam bahasa Belanda “Tuan-tuan, apakah kalian tidak mengenal  belas kasihan”, yang ternyata tidak ada gunanya.
Kejadian yang sangat menakutkan itu membuat kami menjadi bisu. Kepala  dan bagian-bagian tubuh orang-orang Banda yang telah dipotong,  ditancapkan di ujung bambu dan dipertontonkan. Demikianlah kejadiannya:  Hanya Tuhan yang mengetahui siapa yang benar.
Kita semua, sebagai yang menyatakan beragama Kristen, dipenuhi rasa  kecemasan melihat bagaimana peristiwa ini berakhir, dan kami merasa  tidak sejahtera dengan hal ini ..”.
Laporan ini dikutip oleh Willard A. Hanna dari “De Verovering der  Banda-Eilanden,” Bijdragen van het Koninklijke Institut voor de Taal-,  Land-, en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Vol. II (1854), hlm. 173.  Laporan ini semula beredar secara anonim di Belanda, namun cendekiawan  Belanda yang terkenal, H.T. Colenbrander menghubungkan ini dengan salah  seorang perwira dari Gubernur Jenderal Coen, yaitu Nicholas van Waert  tersebut.
Para pengikut tokoh-tokoh Banda beserta seluruh keluarga mereka dibawa  dengan kapal ke Batavia untuk kemudian dijual sebagai budak. Jumlah  seluruh warga Banda yang dibawa ke Batavia adalah 883 orang terdiri dari  287 pria, 356 perempuan dan 240 anak-anak. 176 orang meninggal dalam  perjalanan. Banyak di antara mereka yang meninggal karena siksaan,  kelaparan atau penyakit.
Demikianlah pembantaian massal pertama yang dilakukan oleh Belanda di  Bumi Nusantara. Kekejaman Belanda tidak terbatas terhadap pribumi di  Maluku, melainkan juga terhadap para pesaing mereka, dalam hal ini  orang-orang Inggris. Persaingan antara Belanda dan Inggris untuk  menguasai rempah-rempah di Maluku mencapai puncaknya pada tahun 1623,  dua tahun setelah pembantaian rakyat Banda, di mana para pedagang  Inggris juga dibantai oleh serdadu bayaran VOC. Para pedagang Inggris  tersebut dibunuh secara kejam oleh Belanda; leher mereka disembelih  seperti anjing, sebagaimana diungkapkan oleh Laurens van der Post  (lihat: Laurens van der Post: “The Admiral's Baby”, John Murray, London,  1996.):
“… It was on Ambon in 1623 that the Dutch slaughtered the English traders they found there, cutting their throats like dogs …”
![]() 
Secara perlahan-lahan, Belanda menyingkirkan pesaing-pesaing perdagangan  mereka dari Eropa, yaitu Portugis, Spanyol dan Inggris, dan dengan  demikian berhasil memegang monopoli atas perdagangan rempah-rempah dari  wilayah Maluku ke Eropa. Para penguasa setempat yang tidak bersedia  memenuhi keinginan VOC disingkirkan dengan segala cara, dan kemudian  diganti dengan Raja, Sultan atau penguasa lain yang patuh kepada  Belanda. Dengan cara ini VOC dapat memaksa penguasa setempat untuk  membuat kebijakan dan peraturan yang sangat menguntungkan VOC, namun  merugikan rakyat setempat. Para penguasa boneka Belanda, disamping  memperoleh “kekuasaan”, juga mendapat keuntungan materi.
Dengan mereka, VOC membuat perjanjian yang dinamakan “kontrak  extirpatie”, yaitu menebang dan memusnahkan semua pohon cengkeh dan pala  di wilayahnya, dan tidak mengizinkan rakyat mereka untuk menanam  kembali dan memelihara pohon rempah-rempah tersebut. Sebagai imbalannya,  para penguasa memperoleh uang sebagai pengganti kerugian yang dinamakan  recognitie-penningen.
Mattheus de HaanDiederik DurvenDi bawah Gubernur Jenderal Mattheus de  Haan (1725 – 1729) dan kemudian dilanjutkan oleh Diederik Durven (1729 –  dipecat tahun 1732) dilakukan extirpartie secara besar-besaran, guna  menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi. Untuk melaksanakan  extirpatie tersebut, setiap tahun VOC melakukan pelayaran hongi atau  “Hongi tochten”, yaitu armada yang terdiri dari sejumlah kora-kora,  kapal tradisional Ternate-Tidore.
Menurut catatan statistik Kompeni, sebagai hasil extirpatie dari Hongi  tochten yang hanya berlangsung satu tahun, yaitu dari 10 Desember 1728  sampai 17 Desember 1729 telah dimusnahkan lebih dari 96.000 pohon dan  dari 14 Juli 1731 sampai 27 Juli 1732 telah habis dimusnahkan 117.000  pohon rempah-rempah di Pulau-Pulau Makian, Moti, Weda, Maba dan Ternate. 
Pembantaian Etnis (Genocide) Tionghoa di Batavia
250pxrightKekejaman bangsa Belanda tidak hanya dirasakan oleh rakyat  jajahannya atau pesaing-pesaing mereka dari Eropa saja, melainkan juga  dirasakan oleh etnis Tionghoa yang ada di Batavia, sebagaimana dilakukan  oleh Adriaen Valckenier, yang menjadi Gubernur Jenderal India Belanda  dari tahun 1737 - 1741. Selain melanjutkan budaya korupsi dan penindasan  serta eksploitasi rakyat jajahannya, Valckenier juga menilai,  peningkatan yang sangat pesat jumlah orang Tionghoa yang ada di Batavia  telah menjadi ancaman bagi orang Belanda.
Sebenarnya pada mulanya Belanda mendatangkan orang-orang Tionghoa dari  Tiongkok ke India Belanda terutama untuk menjadi kuli di perkebunan.  Namun banyak dari mereka yang berhasil menjadi pedagang, pengusaha dan  rentenir uang, dengan kedudukan sebagai lapisan menengah yang berfungsi  sebagai perantara antara orang Eropa dan pribumi.
Sekitar tahun 1690, penguasa VOC mencoba mulai membatasi masuknya orang  Tionghoa ke Batavia/Jawa, namun tidak berhasil, karena adanya kolusi  antara para pengusaha yang terus mendatangkan kuli dari Tiongkok dan  pejabat administrasi VOC yang menerima suap. Para pengusaha Belanda juga  memperoleh manfaat dengan adanya kuli murah, rajin dan patuh,  dibandingkan dengan pribumi yang sering membangkang, melawan dan bahkan  melakukan pemberontakan.
Namun, lama kelamaan jumlah mereka semakin meningkat dan mencapai  puluhan ribu orang, dan menjelang tahun 1740, separuh penduduk di  Batavia dan sekitarnya adalah orang Tionghoa. Mereka juga telah  menguasai berbagai bidang ekonomi dan usaha, yang menjadi ancaman bagi  orang-orang Belanda dan Eropa lainnya, karena dengan adanya pesaing  etnis Tionghoa, keuntungan mereka menjadi sangat berkurang. Salah satu  bidang usaha yang dikuasai oleh etnis Tionghoa adalah perkebunan tebu di  sekitar Batavia.
Tahun 1740, pasar gula mengalami kemerosotan karena selain adanya  persaingan dari Brasilia yang menjual gula lebih murah, juga pasar di  Eropa telah jenuh. Puluhan pedagang gula mengalami kebangkrutan dan  harus memberhentikan kuli-kuli mereka dari Tiongkok. Pengangguran  besar-besaran yang mendadak ini memunculkan kelompok-kelompok yang  menjurus kepada gang (komplotan) kriminal. Gang-gang tersebut juga tidak  segan-segan untuk melakukan tindak kekerasan, sehingga menimbulkan  keresahan di kalangan orang-orang Belanda dan Eropa lainnya.
Para penguasa VOC kemudian mulai mengambil langkah-langkah untuk  mengatasi hal ini, dengan mendeportasi kuli-kuli dari Tiongkok tersebut  ke Ceylon dan Afrika Selatan, yang juga koloni VOC waktu itu. Deportasi  dengan kapal laut ini dimulai pada bulan Juli 1740. Tak lama setelah  dimulainya deportasi kuli-kuli Tionghoa ke Ceylon, muncul desas-desus,  bahwa kuli-kuli itu dibunuh dan kemudian dilemparkan ke laut. Terpancing  dengan isu tersebut, banyak kuli Tionghoa mempersenjatai diri mereka  dan mulai mengadakan perlawanan, dan bahkan merencanakan akan menyerang  Batavia. Tanggal 8 Oktober malam, suasana di Batavia sangat mencekam,  karena diberitakan, bahwa orang-orang Tionghoa di dalam kota Batavia  akan bergabung dengan warga Tionghoa dari sekitar Batavia.
Pada 9 Oktober 1740 Gubernur Jenderal Valckenier mengeluarkan perintah  untuk menggeledah 5.000 keluarga Tionghoa yang tinggal di lingkungan  benteng Batavia dan sekitarnya. Namun yang terjadi dalam 3 hari kemudian  adalah pembantaian terhadap semua orang Tionghoa di Batavia. Setiap  orang Tionghoa yang ditemui langsung dibunuh, dan bahkan yang berada di  rumah sakit juga dibantai (lihat: Vermeulen, J.Th., De Chineezen  Turbulenten te Batavia, 1938).
Georg Bernhard Schwarz, seorang Jerman yang berasal dari Remstal, dekat  Stuttgart, Jerman, pada 1751 dalam tulisan yang diterbitkan di  Heilbronn, Jerman, dengan judul “Merkwürdigkeiten” menuturkan  pengalamannya ketika ia ikut dalam pembantaian etnis Tionghoa di  Batavia. Ia menuliskan, bahwa ia membunuh orang Tionghoa beserta seluruh  keluarganya di Batavia, yang adalah tetangganya sendiri, walaupun  mereka sebenarnya adalah kenalan baik dan tidak mempunyai masalah  pribadi satu dengan lainnya. (lihat: Seemann, Heinrich, Spuren einer  Freundschaft. Deutsch – Indonesische Beziehungen vom 16. bis 19.  Jahrhundert. Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2000).
Diperkirakan sekitar 24.000 orang etnis Tionghoa yang tewas dibantai  oleh orang-orang Belanda dan Eropa lainnya pada bulan Oktober 1740. Dari  sisa yang hidup, banyak yang melarikan diri ke Jawa Tengah dan  bergabung dengan kelompok pemberontak di bawah pimpinan Raden Mas Said.  Mereka kemudian menyerang pos pertahanan Belanda di Semarang dan  Rembang. Sebagian lagi melarikan diri ke Kalimantan Barat.
Ini merupakan pembantaian etnis (genocide) terbesar pada waktu itu, dan  ketika berita ini sampai di Eropa, hal ini sangat memalukan bangsa  Belanda yang bertepuk dada sebagai penganut ajaran Kristen yang taat,  namun bukan saja melakukan perbudakan, melainkan juga pembantaian etnis  secara massal. Gubernur Jenderal Valckenier dan Wakil Gubernur Jenderal  Baron von Imhoff saling menyalahkan atas terjadinya genocide tersebut.  Valckenier sendiri kemudian dipanggil pulang dan meninggal ketika dalam  tahanan. Setelah Valckenier dipanggil pulang tahun 1741, jabatan  Gubernur Jendral untuk sementara dipegang oleh Johannes Thedens, sebelum  diganti oleh Gustaf Wilhelm Baron van Imhoff (1743 – 1750), yang adalah  orang Jerman.
Masalah pembantaian etnis Tionghoa yang sangat mencoreng wajah Belanda,  berhasil ditutup-tutupi dan kemudian hilang begitu saja. Tak ada satu  orang pun dari pelaku pembantaian yang dimajukan ke pengadilan.
Di Den Haag, Belanda, sejak Januari 2003 International Criminal Court -  ICC (Pengadilan Kejahatan Internasional) memulai kegiatannya, dan Menlu  Belanda waktu itu, van Aartsen menyatakan, bahwa dengan demikian “Den  Haag is the capital of international justice.” (Den Haag adalah pusat  keadilan dunia), karena sebelumnya di Den Haag juga terdapat  Intenational Court of Justice. Dalam Statuta Roma yang menjadi landasan  dari ICC disebutkan, bahwa kejahatan tertinggi adalah pembantaian etnis  (genocide), dan setelah itu, kejahatan terbesar kedua adalah Kejahatan  Atas Kemanusiaan (crimes against humanity).
Ironis sekali, bahwa di negara yang telah melakukan kejahatan terbesar,  genocide, dan kejahatan atas kemanusiaan, yaitu perbudakan, pembantaian  massal seperti di Sulawesi Selatan dan Rawagede, menjadi tempat  kedudukan lembaga-lembaga peradilan internasional, dan Menlunya bertepuk  dada, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa di masa lalu. Satu  bangsa yang mengalami amnesia dan pengingkaran kolektif!
Runtuhnya VOC. Penjajahan Pemerintah India-Belanda
Sejak tahun 1780-an terjadi peningkatan biaya dan menurunnya hasil  penjualan, yang menyebabkan kerugian perusahaan dagang tersebut. Hal ini  disebabkan oleh korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh para  pegawai VOC di Asia Tenggara, dari pejabat rendah hingga pejabat tinggi,  termasuk para residen. Misalnya beberapa residen Belanda memaksa rakyat  untuk menyerahkan hasil produksi kepada mereka dengan harga yang sangat  rendah, dan kemudian dijual lagi kepada VOC melalui kenalan atau  kerabatnya yang menjadi pejabat VOC dengan harga yang sangat tinggi.
Karena korupsi, lemahnya pengawasan administrasi dan kemudian konflik  dengan pemerintah Belanda sehubungan dengan makin berkurangnya  keuntungan yang ditransfer ke Belanda karena dikorupsi oleh para pegawai  VOC di berbagai wilayah, maka kontrak VOC yang jatuh tempo pada 31  Desember 1979 tidak diperpanjang lagi dan secara resmi dibubarkan tahun  1799. Setelah dibubarkan, plesetan VOC menjadi Vergaan Onder Corruptie  (Hancur karena korupsi).
Setelah VOC dibubarkan, daerah-daerah yang telah menjadi kekuasaan VOC,  diambil alih –termasuk utang VOC sebesar 134 juta gulden- oleh  Pemerintah Belanda, sehingga dengan demikian politik kolonial resmi  ditangani sendiri oleh Pemerintah Belanda. Yang menjalankan politik  imperialisme secara sistematis, dengan tujuan menguasai seluruh wilayah,  yang kemudian dijadikan sebagai daerah otonomi yang dinamakan  India-Belanda (Nederlands-IndiĆ«) di bawah pimpinan seorang Gubernur  Jenderal.
Gubernur Jenderal VOC terakhir, Pieter Gerardus van Overstraten (1797 –  1799), menjadi Gubernur Jenderal Pemerintah India-Belanda pertama (1800 –  1801).
Pada 20 Mei 2005, KOMITE UTANG KEHORMATAN BELANDA (KUKB) menuntut Pe*me*rintah Belanda untuk:
1. Mengakui Kemer*dekaan Repu*blik Indo*nesia 17 Agustus 1945; dan
2. II. Meminta Maaf Ke*pa*da Bangsa Indonesia atas Pen*jajahan,  Perbudakan, Pe*lang*ga*ran HAM Berat dan Kejahatan Atas Kemanusiaan. 
0 comments on "perjuangan bangsa indonesia terhadap VOC"
Post a Comment