Dua kali ujian nasional pada 2006 memberi kejutan. Pertama, ketika angka kelulusan melonjak luar biasa. Pada tingkat sekolah menengah atas, dari 80,76 persen naik menjadi 92,50 persen, dan madrasah aliyah, dari 80,73 persen menjadi 90,82 persen. Adapun untuk sekolah menengah kejuruan, dari 78,29 persen menjadi 91,00 persen. Kedua, pengakuan guru dan murid dari berbagai daerah bahwa mereka telah melakukan dan menyaksikan kecurangan dalam penyelenggaraan ujian nasional.
Bagian pertama menjelaskan hasil, bagian kedua menjelaskan proses. Hasil ujian nasi0nal yang gilang gemilang dan telanjur membuat bangga pemerintah ternyata didapat dari proses manipulatif. Karena itu, para guru yang mengetahui proses memperingatkan pemerintah agar tidak menjadikan tingginya persentase kelulusan sebagai indikator peningkatan mutu pendidikan nasional.
Para guru bukannya tidak mengetahui risiko atas apa yang dilakukannya, tapi nurani mereka berontak. Selama empat kali pelaksanaan ujian nasional, harus diam dan terus membodohi diri sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan atasan. Selain itu, ujian nasional telah merampas hak pedagogis dalam menentukan kelulusan. Mereka yang mengetahui seluk-beluk mengenai murid, tapi kemudian pemerintah yang memutuskan siapa yang berhak atau tidak berhak lulus. Intervensi tersebut jelas menggambarkan rendahnya kadar kepercayaan pemerintah terhadap guru.
Apa yang diungkapkan oleh para guru sungguh mencengangkan. Ujian nasional, yang oleh pemerintah diharapkan mampu mendorong murid agar belajar lebih giat, ternyata dimanipulasi secara sistemik. Setidaknya ada tiga modus yang digunakan dalam kecurangan ujian nasional dan ketiganya memposisikan guru sebagai operator. Pertama, sebelum ujian nasional dilaksanakan. Cara yang dipakai dengan membocorkan soal. Misalnya pengakuan murid di Garut, mereka diperintahkan datang lebih awal ke sekolah agar bisa memperoleh jawaban dari guru.
Kedua, jawaban dibuat pada saat ujian. Biasanya dilakukan oleh tim, yang berisi guru bidang studi. Proses distribusi jawaban bervariasi, ada yang menggunakan telepon seluler, seperti yang terjadi di Cilegon. Dalam satu kelas, satu atau dua murid dijadikan sebagai simpul. Mereka bertugas menerima dan membagikan jawaban kepada yang lain melalui kode tertentu. Ada pula yang memakai kertas kecil atau kertas unyil. Murid mengambilnya di tempat yang sudah disepakati dengan tim.
Ketiga, tim bekerja setelah ujian nasional selesai. Biasanya murid diminta tidak menjawab pertanyaan yang dianggap sulit karena nantinya tim yang akan mengisi. Tapi ada pula yang membiarkan murid menjawab. Apabila salah, tugas tim yang akan membetulkan. Walau lokasi kecurangan umumnya terjadi di sekolah, bukan berarti Departemen Pendidikan Nasional bisa lepas tanggung jawab. Sebab, sumber masalahnya ada pada kebijakan ujian nasional. Melalui ujian nasional, pemerintah telah melakukan re-sentralisasi pendidikan, padahal di sisi lain, pelayanan dan pembiayaan cenderung didesentralisasi.
Dasar resentralisasi adalah asumsi bahwa biang keladi buruknya mutu pendidikan adalah guru dan murid malas belajar. Agar mereka rajin, penentuan kelulusan harus diambil alih. Padahal pemerintah sendiri telah gagal dalam menjalankan kewajiban menyediakan layanan pendidikan bermutu, yang membuat guru dan murid tidak nyaman dalam menjalankan proses belajar-mengajar. Melalui kebijakan ujian nasional, daerah dan sekolah dipaksa membenarkan asumsi pemerintah. Padahal kondisinya tidak memungkinkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pelayanan pendidikan di daerah umumnya masih buruk. Karena itu, dipilih cara instan, yaitu dengan melakukan manipulasi. Apalagi hasil ujian nasional juga mempertaruhkan citra daerah dan sekolah.
Tidak mengherankan apabila terjadi penekanan secara berjenjang. Pemerintah daerah yang merasa tertekan pemerintah pusat akan menekan sekolah. Ambil contoh di Garut. Bupati mengancam akan memutasi kepala sekolah yang kelulusan muridnya di bawah 95 persen (Republika, 17 Mei 2006). Dengan demikian, ujian nasional sudah tidak lagi berhubungan dengan kepentingan pendidikan, tapi telah menjadi alat untuk mencapai kepentingan politik. Satu sisi bisa memuaskan kebutuhan pemerintah pusat, pada sisi lain mempermanis wajah birokrasi daerah supaya dianggap berhasil memajukan pendidikan.
Pada akhirnya, kebijakan ujian nasional kontraproduktif bagi pendidikan nasional. Tujuan yang ingin dicapai gagal total, sedangkan yang didapat hanyalah masalah. Kecurangan sistemik tidak hanya mengaburkan pemetaan mengenai kondisi pendidikan nasional, tapi juga berdampak buruk bagi guru dan murid. Kreativitas murid terkungkung. Mereka dipaksa mengalokasikan porsi belajar lebih besar pada mata pelajaran pilihan pemerintah. Padahal tujuan pendidikan sesungguhnya adalah membentuk manusia cerdas, penuh kreativitas, dan mandiri serta dapat mengatasi segala persoalan yang dihadapi. Semua tujuan ini akan tercapai jika murid diberi banyak waktu dan kesempatan untuk mengaktualisasi dirinya dalam berbagai macam pelajaran yang ada di sekolah.
Selain itu, atas alasan gengsi daerah dan sekolah serta memuaskan pemerintah pusat, semangat belajar dan bekerja keras para murid dan guru telah dihancurkan. Tidak ada lagi penghargaan bagi mereka yang mau bersusah payah belajar, karena semuanya sudah diambil alih oleh tim sukses ujian nasional. Dampak paling berbahaya adalah tertanamnya mental terabas di kalangan murid. Lewat kecurangan, mereka secara tidak langsung telah diajari agar tidak lagi menghargai proses. Cara apa pun boleh digunakan, halal ataupun haram, asalkan tujuan bisa tercapai. Tentu saja kondisi ini bertolak belakang dengan tujuan pendidikan.
Karena itu, apabila yang dijadikan solusi hanyalah menghukum atau memberi sanksi kepada daerah atau sekolah yang curang, masalah tidak akan selesai. Justru yang harus dilakukan pemerintah adalah menghilangkan akar masalah utamanya, yaitu kebijakan ujian nasional. Pemerintah harus mulai mengubah mental terabas dengan mental kerja keras. Apabila menginginkan mutu pendidikan bagus, harus dimulai dengan memberi pelayanan yang bagus pula.
Ade Irawan, MANAJER MONITORING PELAYANAN PUBLIK INDONESIA CORRUPTION WATCH, SEKRETARIS KOALISI PENDIDIKAN
Monday, November 15, 2010
Petaka Pendidikan Nasional
Bagian pertama menjelaskan hasil, bagian kedua menjelaskan proses. Hasil ujian nasi0nal yang gilang gemilang dan telanjur membuat bangga pemerintah ternyata didapat dari proses manipulatif. Karena itu, para guru yang mengetahui proses memperingatkan pemerintah agar tidak menjadikan tingginya persentase kelulusan sebagai indikator peningkatan mutu pendidikan nasional.
Para guru bukannya tidak mengetahui risiko atas apa yang dilakukannya, tapi nurani mereka berontak. Selama empat kali pelaksanaan ujian nasional, harus diam dan terus membodohi diri sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan atasan. Selain itu, ujian nasional telah merampas hak pedagogis dalam menentukan kelulusan. Mereka yang mengetahui seluk-beluk mengenai murid, tapi kemudian pemerintah yang memutuskan siapa yang berhak atau tidak berhak lulus. Intervensi tersebut jelas menggambarkan rendahnya kadar kepercayaan pemerintah terhadap guru.
Apa yang diungkapkan oleh para guru sungguh mencengangkan. Ujian nasional, yang oleh pemerintah diharapkan mampu mendorong murid agar belajar lebih giat, ternyata dimanipulasi secara sistemik. Setidaknya ada tiga modus yang digunakan dalam kecurangan ujian nasional dan ketiganya memposisikan guru sebagai operator. Pertama, sebelum ujian nasional dilaksanakan. Cara yang dipakai dengan membocorkan soal. Misalnya pengakuan murid di Garut, mereka diperintahkan datang lebih awal ke sekolah agar bisa memperoleh jawaban dari guru.
Kedua, jawaban dibuat pada saat ujian. Biasanya dilakukan oleh tim, yang berisi guru bidang studi. Proses distribusi jawaban bervariasi, ada yang menggunakan telepon seluler, seperti yang terjadi di Cilegon. Dalam satu kelas, satu atau dua murid dijadikan sebagai simpul. Mereka bertugas menerima dan membagikan jawaban kepada yang lain melalui kode tertentu. Ada pula yang memakai kertas kecil atau kertas unyil. Murid mengambilnya di tempat yang sudah disepakati dengan tim.
Ketiga, tim bekerja setelah ujian nasional selesai. Biasanya murid diminta tidak menjawab pertanyaan yang dianggap sulit karena nantinya tim yang akan mengisi. Tapi ada pula yang membiarkan murid menjawab. Apabila salah, tugas tim yang akan membetulkan. Walau lokasi kecurangan umumnya terjadi di sekolah, bukan berarti Departemen Pendidikan Nasional bisa lepas tanggung jawab. Sebab, sumber masalahnya ada pada kebijakan ujian nasional. Melalui ujian nasional, pemerintah telah melakukan re-sentralisasi pendidikan, padahal di sisi lain, pelayanan dan pembiayaan cenderung didesentralisasi.
Dasar resentralisasi adalah asumsi bahwa biang keladi buruknya mutu pendidikan adalah guru dan murid malas belajar. Agar mereka rajin, penentuan kelulusan harus diambil alih. Padahal pemerintah sendiri telah gagal dalam menjalankan kewajiban menyediakan layanan pendidikan bermutu, yang membuat guru dan murid tidak nyaman dalam menjalankan proses belajar-mengajar. Melalui kebijakan ujian nasional, daerah dan sekolah dipaksa membenarkan asumsi pemerintah. Padahal kondisinya tidak memungkinkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pelayanan pendidikan di daerah umumnya masih buruk. Karena itu, dipilih cara instan, yaitu dengan melakukan manipulasi. Apalagi hasil ujian nasional juga mempertaruhkan citra daerah dan sekolah.
Tidak mengherankan apabila terjadi penekanan secara berjenjang. Pemerintah daerah yang merasa tertekan pemerintah pusat akan menekan sekolah. Ambil contoh di Garut. Bupati mengancam akan memutasi kepala sekolah yang kelulusan muridnya di bawah 95 persen (Republika, 17 Mei 2006). Dengan demikian, ujian nasional sudah tidak lagi berhubungan dengan kepentingan pendidikan, tapi telah menjadi alat untuk mencapai kepentingan politik. Satu sisi bisa memuaskan kebutuhan pemerintah pusat, pada sisi lain mempermanis wajah birokrasi daerah supaya dianggap berhasil memajukan pendidikan.
Pada akhirnya, kebijakan ujian nasional kontraproduktif bagi pendidikan nasional. Tujuan yang ingin dicapai gagal total, sedangkan yang didapat hanyalah masalah. Kecurangan sistemik tidak hanya mengaburkan pemetaan mengenai kondisi pendidikan nasional, tapi juga berdampak buruk bagi guru dan murid. Kreativitas murid terkungkung. Mereka dipaksa mengalokasikan porsi belajar lebih besar pada mata pelajaran pilihan pemerintah. Padahal tujuan pendidikan sesungguhnya adalah membentuk manusia cerdas, penuh kreativitas, dan mandiri serta dapat mengatasi segala persoalan yang dihadapi. Semua tujuan ini akan tercapai jika murid diberi banyak waktu dan kesempatan untuk mengaktualisasi dirinya dalam berbagai macam pelajaran yang ada di sekolah.
Selain itu, atas alasan gengsi daerah dan sekolah serta memuaskan pemerintah pusat, semangat belajar dan bekerja keras para murid dan guru telah dihancurkan. Tidak ada lagi penghargaan bagi mereka yang mau bersusah payah belajar, karena semuanya sudah diambil alih oleh tim sukses ujian nasional. Dampak paling berbahaya adalah tertanamnya mental terabas di kalangan murid. Lewat kecurangan, mereka secara tidak langsung telah diajari agar tidak lagi menghargai proses. Cara apa pun boleh digunakan, halal ataupun haram, asalkan tujuan bisa tercapai. Tentu saja kondisi ini bertolak belakang dengan tujuan pendidikan.
Karena itu, apabila yang dijadikan solusi hanyalah menghukum atau memberi sanksi kepada daerah atau sekolah yang curang, masalah tidak akan selesai. Justru yang harus dilakukan pemerintah adalah menghilangkan akar masalah utamanya, yaitu kebijakan ujian nasional. Pemerintah harus mulai mengubah mental terabas dengan mental kerja keras. Apabila menginginkan mutu pendidikan bagus, harus dimulai dengan memberi pelayanan yang bagus pula.
Ade Irawan, MANAJER MONITORING PELAYANAN PUBLIK INDONESIA CORRUPTION WATCH, SEKRETARIS KOALISI PENDIDIKAN
Monday, November 15, 2010
Petaka Pendidikan Nasional
Bagian pertama menjelaskan hasil, bagian kedua menjelaskan proses. Hasil ujian nasi0nal yang gilang gemilang dan telanjur membuat bangga pemerintah ternyata didapat dari proses manipulatif. Karena itu, para guru yang mengetahui proses memperingatkan pemerintah agar tidak menjadikan tingginya persentase kelulusan sebagai indikator peningkatan mutu pendidikan nasional.
Para guru bukannya tidak mengetahui risiko atas apa yang dilakukannya, tapi nurani mereka berontak. Selama empat kali pelaksanaan ujian nasional, harus diam dan terus membodohi diri sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan atasan. Selain itu, ujian nasional telah merampas hak pedagogis dalam menentukan kelulusan. Mereka yang mengetahui seluk-beluk mengenai murid, tapi kemudian pemerintah yang memutuskan siapa yang berhak atau tidak berhak lulus. Intervensi tersebut jelas menggambarkan rendahnya kadar kepercayaan pemerintah terhadap guru.
Apa yang diungkapkan oleh para guru sungguh mencengangkan. Ujian nasional, yang oleh pemerintah diharapkan mampu mendorong murid agar belajar lebih giat, ternyata dimanipulasi secara sistemik. Setidaknya ada tiga modus yang digunakan dalam kecurangan ujian nasional dan ketiganya memposisikan guru sebagai operator. Pertama, sebelum ujian nasional dilaksanakan. Cara yang dipakai dengan membocorkan soal. Misalnya pengakuan murid di Garut, mereka diperintahkan datang lebih awal ke sekolah agar bisa memperoleh jawaban dari guru.
Kedua, jawaban dibuat pada saat ujian. Biasanya dilakukan oleh tim, yang berisi guru bidang studi. Proses distribusi jawaban bervariasi, ada yang menggunakan telepon seluler, seperti yang terjadi di Cilegon. Dalam satu kelas, satu atau dua murid dijadikan sebagai simpul. Mereka bertugas menerima dan membagikan jawaban kepada yang lain melalui kode tertentu. Ada pula yang memakai kertas kecil atau kertas unyil. Murid mengambilnya di tempat yang sudah disepakati dengan tim.
Ketiga, tim bekerja setelah ujian nasional selesai. Biasanya murid diminta tidak menjawab pertanyaan yang dianggap sulit karena nantinya tim yang akan mengisi. Tapi ada pula yang membiarkan murid menjawab. Apabila salah, tugas tim yang akan membetulkan. Walau lokasi kecurangan umumnya terjadi di sekolah, bukan berarti Departemen Pendidikan Nasional bisa lepas tanggung jawab. Sebab, sumber masalahnya ada pada kebijakan ujian nasional. Melalui ujian nasional, pemerintah telah melakukan re-sentralisasi pendidikan, padahal di sisi lain, pelayanan dan pembiayaan cenderung didesentralisasi.
Dasar resentralisasi adalah asumsi bahwa biang keladi buruknya mutu pendidikan adalah guru dan murid malas belajar. Agar mereka rajin, penentuan kelulusan harus diambil alih. Padahal pemerintah sendiri telah gagal dalam menjalankan kewajiban menyediakan layanan pendidikan bermutu, yang membuat guru dan murid tidak nyaman dalam menjalankan proses belajar-mengajar. Melalui kebijakan ujian nasional, daerah dan sekolah dipaksa membenarkan asumsi pemerintah. Padahal kondisinya tidak memungkinkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pelayanan pendidikan di daerah umumnya masih buruk. Karena itu, dipilih cara instan, yaitu dengan melakukan manipulasi. Apalagi hasil ujian nasional juga mempertaruhkan citra daerah dan sekolah.
Tidak mengherankan apabila terjadi penekanan secara berjenjang. Pemerintah daerah yang merasa tertekan pemerintah pusat akan menekan sekolah. Ambil contoh di Garut. Bupati mengancam akan memutasi kepala sekolah yang kelulusan muridnya di bawah 95 persen (Republika, 17 Mei 2006). Dengan demikian, ujian nasional sudah tidak lagi berhubungan dengan kepentingan pendidikan, tapi telah menjadi alat untuk mencapai kepentingan politik. Satu sisi bisa memuaskan kebutuhan pemerintah pusat, pada sisi lain mempermanis wajah birokrasi daerah supaya dianggap berhasil memajukan pendidikan.
Pada akhirnya, kebijakan ujian nasional kontraproduktif bagi pendidikan nasional. Tujuan yang ingin dicapai gagal total, sedangkan yang didapat hanyalah masalah. Kecurangan sistemik tidak hanya mengaburkan pemetaan mengenai kondisi pendidikan nasional, tapi juga berdampak buruk bagi guru dan murid. Kreativitas murid terkungkung. Mereka dipaksa mengalokasikan porsi belajar lebih besar pada mata pelajaran pilihan pemerintah. Padahal tujuan pendidikan sesungguhnya adalah membentuk manusia cerdas, penuh kreativitas, dan mandiri serta dapat mengatasi segala persoalan yang dihadapi. Semua tujuan ini akan tercapai jika murid diberi banyak waktu dan kesempatan untuk mengaktualisasi dirinya dalam berbagai macam pelajaran yang ada di sekolah.
Selain itu, atas alasan gengsi daerah dan sekolah serta memuaskan pemerintah pusat, semangat belajar dan bekerja keras para murid dan guru telah dihancurkan. Tidak ada lagi penghargaan bagi mereka yang mau bersusah payah belajar, karena semuanya sudah diambil alih oleh tim sukses ujian nasional. Dampak paling berbahaya adalah tertanamnya mental terabas di kalangan murid. Lewat kecurangan, mereka secara tidak langsung telah diajari agar tidak lagi menghargai proses. Cara apa pun boleh digunakan, halal ataupun haram, asalkan tujuan bisa tercapai. Tentu saja kondisi ini bertolak belakang dengan tujuan pendidikan.
Karena itu, apabila yang dijadikan solusi hanyalah menghukum atau memberi sanksi kepada daerah atau sekolah yang curang, masalah tidak akan selesai. Justru yang harus dilakukan pemerintah adalah menghilangkan akar masalah utamanya, yaitu kebijakan ujian nasional. Pemerintah harus mulai mengubah mental terabas dengan mental kerja keras. Apabila menginginkan mutu pendidikan bagus, harus dimulai dengan memberi pelayanan yang bagus pula.
Ade Irawan, MANAJER MONITORING PELAYANAN PUBLIK INDONESIA CORRUPTION WATCH, SEKRETARIS KOALISI PENDIDIKAN
0 comments on "Petaka Pendidikan Nasional"
Post a Comment