Negeri Jepang memiliki empat musim, musim dingin, semi, panas, dan musim gugur. Barangkali keadaan ini merupakan salah satu hal yang membuat bangsa Jepang tertantang untuk bertahan hidup dalam kondisi alam yang sulit, pada musim dingin atau musim gugur. Merasa sulit untuk maju di bidang agraris, maka tak diragukan lagi negeri Jepang begitu maju di bidang industri.
Meski mengalami kemajuan yang pesat di bidang industri terutama elektronika dan otomotif, bangsa Jepang tak lupa memelihara tradisi. Di antara banyak tradisi bangsa Jepang, ada satu tradisi yang di samping bernilai sakral juga dapat mengangkat pamor pariwisata negeri itu. Tradisi itu ialah matsuri atau festival. Festival ini biasanya diadakan tiap musim. Pada musim panas yang berbeda, berbeda pula jenis festivalnya.
Ada beberapa nama matsuri, di antaranya Sanja-matsuri, Tako-matsuri, dan Golden Week-matsuri. Biasanya pada musim panas diselenggarakan matsuri berupa bazar atau festival masakan tradisional. Pada musim panas itu diutamakan matsuri sebagai penghormatan terhadap roh nenek moyang bangsa Jepang.
Matsuri kini sudah menjadi even nasional yang tak lagi melulu sebagai penghormatan terhadap roh leluhur, meski sebelum penyelenggaraannya masih ada masya-rakat tertentu yang melakukan upacara ritual.
Jika musim matsuri tiba, tiap-tiap kecamatan (sigake) sudah siap untuk menggelar festival. Dalam festival itu digelar berbagai kesenian tradisional seperti barongsai dan juga dipamerkan benda-benda unik. Seperti pernah dipamerkan sepatu tradisional Jepang (josi) berukuran raksasa yang terbuat dari anyaman dan simpul-simpul rotan pada SKanja-matsuri. Benda ini dipajang di kuil Sensoji, Asakusa, Tokyo. Dengan Sanja-matsuri ini, banyak wisatawan yang berkunjung ke Kuil Sensoji yang merupakan kelenteng terbesar itu. Digelar juga festival boneka tradisi Jepang pada Hina-matsuri. Festival boneka ini merupakan festival yang paling tua, sudah berlangsung sejak 100 tahun lalu.
Festival yang paling menarik semua lapisan masyarakat yaitu Tako-matsuri atau festival layang-layang hias. Dari satu sigake, sedikitnya 50 kelompok peserta bisa terdaftar di meja panitia. Jauh hari sebelum festival layang-layang dimulai, para pesrta yang akan mengikuti festival sudah mempersiapkan diri dengan sket gambar, merancang dan membentuk layang-layang bersama tim mereka yang terdiri dari 10 sampai 20 orang.
Layang-layang yang difestivalkan biasanya diberi nama tokoh populer orang Jepang atau nama derah masing-masing. Bisa nama bunga, seperti Sakura atau nama gunung seperti Fujiyama. Ben-tuknya pun variatif dengan gambar dan ornamen yang berbeda-beda.
Yang membuat para peserta puas, bukan pada hadiah yang disediakan panitia sebab jika mengharap hadiah, hanyalah hadiah hiburan yang tak sebanding dengan anggaran pembuatan layang-layang yang bisa mencapai ratusan yen. Bayangkan, di antara peserta ada yang membuat layang-layang raksasa yang ukurannya kurang lebih 60 meter persegi. Peserta akan merasa puas apabila layang-layang yang dibuatnya itu berhasil diterbangkan mulus dan seimbang bisa mencapai ketinggian lebih dari 300 meter. Untuk menerbangkan layang-layang raksasa, anggota kelompok harus kompak sebab kalau tidak, akan dapat kendala saat layang-layang ”tinggal landas”.
Matsuri benar-benar menjadi ajang yang membuat masyarakat Jepang dan juga para wisatawan terhibur. Festival ini selalu ditunggu-tunggu oleh para orang tua yang masih lekat dengan tradisi menghormati roh leluhur dan dinanti oleh khalayak umum yang rindu suasana ceria sehabis mereka bekerja sehari-hari.
Tuesday, October 26, 2010
Matsuri”, Festival Tradisi Jepang
Negeri Jepang memiliki empat musim, musim dingin, semi, panas, dan musim gugur. Barangkali keadaan ini merupakan salah satu hal yang membuat bangsa Jepang tertantang untuk bertahan hidup dalam kondisi alam yang sulit, pada musim dingin atau musim gugur. Merasa sulit untuk maju di bidang agraris, maka tak diragukan lagi negeri Jepang begitu maju di bidang industri.
Meski mengalami kemajuan yang pesat di bidang industri terutama elektronika dan otomotif, bangsa Jepang tak lupa memelihara tradisi. Di antara banyak tradisi bangsa Jepang, ada satu tradisi yang di samping bernilai sakral juga dapat mengangkat pamor pariwisata negeri itu. Tradisi itu ialah matsuri atau festival. Festival ini biasanya diadakan tiap musim. Pada musim panas yang berbeda, berbeda pula jenis festivalnya.
Ada beberapa nama matsuri, di antaranya Sanja-matsuri, Tako-matsuri, dan Golden Week-matsuri. Biasanya pada musim panas diselenggarakan matsuri berupa bazar atau festival masakan tradisional. Pada musim panas itu diutamakan matsuri sebagai penghormatan terhadap roh nenek moyang bangsa Jepang.
Matsuri kini sudah menjadi even nasional yang tak lagi melulu sebagai penghormatan terhadap roh leluhur, meski sebelum penyelenggaraannya masih ada masya-rakat tertentu yang melakukan upacara ritual.
Jika musim matsuri tiba, tiap-tiap kecamatan (sigake) sudah siap untuk menggelar festival. Dalam festival itu digelar berbagai kesenian tradisional seperti barongsai dan juga dipamerkan benda-benda unik. Seperti pernah dipamerkan sepatu tradisional Jepang (josi) berukuran raksasa yang terbuat dari anyaman dan simpul-simpul rotan pada SKanja-matsuri. Benda ini dipajang di kuil Sensoji, Asakusa, Tokyo. Dengan Sanja-matsuri ini, banyak wisatawan yang berkunjung ke Kuil Sensoji yang merupakan kelenteng terbesar itu. Digelar juga festival boneka tradisi Jepang pada Hina-matsuri. Festival boneka ini merupakan festival yang paling tua, sudah berlangsung sejak 100 tahun lalu.
Festival yang paling menarik semua lapisan masyarakat yaitu Tako-matsuri atau festival layang-layang hias. Dari satu sigake, sedikitnya 50 kelompok peserta bisa terdaftar di meja panitia. Jauh hari sebelum festival layang-layang dimulai, para pesrta yang akan mengikuti festival sudah mempersiapkan diri dengan sket gambar, merancang dan membentuk layang-layang bersama tim mereka yang terdiri dari 10 sampai 20 orang.
Layang-layang yang difestivalkan biasanya diberi nama tokoh populer orang Jepang atau nama derah masing-masing. Bisa nama bunga, seperti Sakura atau nama gunung seperti Fujiyama. Ben-tuknya pun variatif dengan gambar dan ornamen yang berbeda-beda.
Yang membuat para peserta puas, bukan pada hadiah yang disediakan panitia sebab jika mengharap hadiah, hanyalah hadiah hiburan yang tak sebanding dengan anggaran pembuatan layang-layang yang bisa mencapai ratusan yen. Bayangkan, di antara peserta ada yang membuat layang-layang raksasa yang ukurannya kurang lebih 60 meter persegi. Peserta akan merasa puas apabila layang-layang yang dibuatnya itu berhasil diterbangkan mulus dan seimbang bisa mencapai ketinggian lebih dari 300 meter. Untuk menerbangkan layang-layang raksasa, anggota kelompok harus kompak sebab kalau tidak, akan dapat kendala saat layang-layang ”tinggal landas”.
Matsuri benar-benar menjadi ajang yang membuat masyarakat Jepang dan juga para wisatawan terhibur. Festival ini selalu ditunggu-tunggu oleh para orang tua yang masih lekat dengan tradisi menghormati roh leluhur dan dinanti oleh khalayak umum yang rindu suasana ceria sehabis mereka bekerja sehari-hari.
Tuesday, October 26, 2010
Matsuri”, Festival Tradisi Jepang
Negeri Jepang memiliki empat musim, musim dingin, semi, panas, dan musim gugur. Barangkali keadaan ini merupakan salah satu hal yang membuat bangsa Jepang tertantang untuk bertahan hidup dalam kondisi alam yang sulit, pada musim dingin atau musim gugur. Merasa sulit untuk maju di bidang agraris, maka tak diragukan lagi negeri Jepang begitu maju di bidang industri.
Meski mengalami kemajuan yang pesat di bidang industri terutama elektronika dan otomotif, bangsa Jepang tak lupa memelihara tradisi. Di antara banyak tradisi bangsa Jepang, ada satu tradisi yang di samping bernilai sakral juga dapat mengangkat pamor pariwisata negeri itu. Tradisi itu ialah matsuri atau festival. Festival ini biasanya diadakan tiap musim. Pada musim panas yang berbeda, berbeda pula jenis festivalnya.
Ada beberapa nama matsuri, di antaranya Sanja-matsuri, Tako-matsuri, dan Golden Week-matsuri. Biasanya pada musim panas diselenggarakan matsuri berupa bazar atau festival masakan tradisional. Pada musim panas itu diutamakan matsuri sebagai penghormatan terhadap roh nenek moyang bangsa Jepang.
Matsuri kini sudah menjadi even nasional yang tak lagi melulu sebagai penghormatan terhadap roh leluhur, meski sebelum penyelenggaraannya masih ada masya-rakat tertentu yang melakukan upacara ritual.
Jika musim matsuri tiba, tiap-tiap kecamatan (sigake) sudah siap untuk menggelar festival. Dalam festival itu digelar berbagai kesenian tradisional seperti barongsai dan juga dipamerkan benda-benda unik. Seperti pernah dipamerkan sepatu tradisional Jepang (josi) berukuran raksasa yang terbuat dari anyaman dan simpul-simpul rotan pada SKanja-matsuri. Benda ini dipajang di kuil Sensoji, Asakusa, Tokyo. Dengan Sanja-matsuri ini, banyak wisatawan yang berkunjung ke Kuil Sensoji yang merupakan kelenteng terbesar itu. Digelar juga festival boneka tradisi Jepang pada Hina-matsuri. Festival boneka ini merupakan festival yang paling tua, sudah berlangsung sejak 100 tahun lalu.
Festival yang paling menarik semua lapisan masyarakat yaitu Tako-matsuri atau festival layang-layang hias. Dari satu sigake, sedikitnya 50 kelompok peserta bisa terdaftar di meja panitia. Jauh hari sebelum festival layang-layang dimulai, para pesrta yang akan mengikuti festival sudah mempersiapkan diri dengan sket gambar, merancang dan membentuk layang-layang bersama tim mereka yang terdiri dari 10 sampai 20 orang.
Layang-layang yang difestivalkan biasanya diberi nama tokoh populer orang Jepang atau nama derah masing-masing. Bisa nama bunga, seperti Sakura atau nama gunung seperti Fujiyama. Ben-tuknya pun variatif dengan gambar dan ornamen yang berbeda-beda.
Yang membuat para peserta puas, bukan pada hadiah yang disediakan panitia sebab jika mengharap hadiah, hanyalah hadiah hiburan yang tak sebanding dengan anggaran pembuatan layang-layang yang bisa mencapai ratusan yen. Bayangkan, di antara peserta ada yang membuat layang-layang raksasa yang ukurannya kurang lebih 60 meter persegi. Peserta akan merasa puas apabila layang-layang yang dibuatnya itu berhasil diterbangkan mulus dan seimbang bisa mencapai ketinggian lebih dari 300 meter. Untuk menerbangkan layang-layang raksasa, anggota kelompok harus kompak sebab kalau tidak, akan dapat kendala saat layang-layang ”tinggal landas”.
Matsuri benar-benar menjadi ajang yang membuat masyarakat Jepang dan juga para wisatawan terhibur. Festival ini selalu ditunggu-tunggu oleh para orang tua yang masih lekat dengan tradisi menghormati roh leluhur dan dinanti oleh khalayak umum yang rindu suasana ceria sehabis mereka bekerja sehari-hari.
0 comments on "Matsuri”, Festival Tradisi Jepang"
Post a Comment